INDOBALINEWS
Bagi kamu yang masih bingung mau kemana akhir pekan nanti, Museum Arma di Ubud sangat direkomendasikan untuk menjadi destinasi pemikiran tentang situasi Bali sekarang, selain itu juga bisa menikmati kecantikan seni berkelas internasional.
Anda dapat mengeksplorasi dunia melalui pandangan yang lebih tajam akan kecantikan dan makna dalam pameran seni berjudul “Roots” di Museum ARMA Ubud, yang dibuka mulai hari ini, Sabtu tanggal 24 Mei 2025 sampai dengan 24 Juni 2025.
Pameran yang diselenggarakan untuk memperingati 100 tahun Walter Spies di Bali tidak hanya menyajikan keindahan, namun juga membawa pesan kritis terhadap masyarakat dengan menampilkan karya-karya Michael Schindhelm. Dia adalah seorang penulis, sutradara film, serta konsultan budaya dari Swiss-Jerman.
Dia bekerja sama dengan seniman visual Made Bayak serta Gus Dark pada sebuah pameran yang diprakarsai oleh Chiara Turconi dan Yudha Bantono. Pameran tersebut akan diselenggarakan dari hari Sabtu, 24 Mei sampai tanggal 14 Juni 2025 guna mengenang seribu tahun kehadiran Walter Spies di Bali. Dikenal bukan saja sebagai seorang pelukis tetapi juga sebagai seniman multi-talent dan musisi, karyanya menjadi sorotan acara ini.
Pertunjukan tersebut memperlihatkan hasil kerja Michael Schindhelm, seorang konsultan budaya dari Swiss-Jerman yang juga terlibat di sini bersama perupa Made Bayak serta Gus Dark. Acara ini dikomandani oleh Chiara Turconi dan Yudha Bantono.
Menurut Michael, melalui perspektif Walter Spies, pemandangan Bali saat ini sangatlah berbeda dibandingkan masa lalu, sejak dia pertama kali mendarat di pulau tersebut.
Michael Schindhelm menyebutkan bahwa seratus tahun yang lampau, seorang seniman Jerman bernama Walter Spies, yang lahir di Moskow, singgah ke pulau Bali untuk kali pertamanya. Tidak berapa lama setelah itu, Bali pun menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayatnya tiba dengan cara tragis ketika pendudukan Jepang terjadi; tepatnya pada tahun 1942 ketika dia baru mencapai usia 47 tahun.
Para mata-mata telah menjalin persahabatan dengan berbagai seniman terkemuka di Jerman. Dia bahkan sempat menyelenggarakan pameran di Berlin dan Amsterdam. Selain itu, dia juga turut serta dalam produksi film horor pertama global yang bernama Nosferatu. Namun sayangnya, dia nyaris tidak dikenal lagi sebagai bagian dari sejarah kesenian Barat.
Di Bali, namun, banyak warga masih mengenal hal tersebut sampai sekarang. Seniman mencolokkan gaya realisme mistiknya sebagai contoh, sementara itu Spies juga turut membantu perkembangan tarian lokal seperti kecak, yang kemungkinan besar menjadi yang paling digemari. Selain itu, kepada para kolektor dan pemilik galeri, ia dikenal karena perannya dalam mendirikan Pita Maha—koop seniman mandiri dibuat untuk membatasi dominasi perdagangan seni barat komersial pada dekade 1930-an dan 1940-an.
Saat seorang seniman Walter Spies memasuki pasaran – seperti yang baru-baru ini terjadi pada lelang di Singapura – harga karyanya benar-benar mengagetkan dan dapat mencapai angka tujuh digit.
“Maka kenyataannya adalah, meskipun sudah memasuki abad ke-21, masih terdapat seniman yang karya mereka dapat sangat bernilai tetapi pada saat bersamaan cukup kurang dikenali,” katanya.
Dapat diasumsikan bahwa saat ini karya Spies pastinya akan ditampilkan di museum dan koleksi Jerman seandainya ia tidak meninggalkan Eropa untuk selamanya pada usia 28 tahun.
“Balimama lebih baik daripada Europa,” ujarnya sekali-sekala. Spies, sebuah fenomena yang mengejutkan dalam Modernisasi.
“Bila Anda mengamati karya-karya sebelum kedatangan dia ke Bali dan bandingkan dengan hasil kerjanya sesudah itu, kamu mungkin enggan percaya bahwa keduanya diciptakan oleh pelaku seni yang sama,” ungkapnya.
Karena dia umumnya menjual hasil kerjanya begitu sudah selesai, hampir tak ada koleksi publik yang dimilikinya. Selama hidupnya, Spies lumayan dikenal; bahkan Charlie Chaplin sempat mewartakan kunjungan ke tempat tropis tersebut, sama seperti Barbara Hutton, salah satu perempuan paling kaya di Amerika pada masa itu. Vicky Baum, penulis ternama, menetap bersamanya, serta antropolog Margaret Mead bisa melanjutkan risetannya di pulau itu berkat dukungan dari pasangannya Gregory Bateson dengan pertolongannya sendiri kepada mereka semua.
Maka tak heran jika Spies pun turut serta dalam pengembangan wisata awal di Bali yang terjadi pada dekade 1920 hingga 1930.
Seperti yang terjadi kemudian, di berbagai wilayah dunia, warisan budaya setempat ditampilkan sebagai magnet menarik wisatawan asing. Pada masa resesi keuangan global, saat koloni-Koloni Hindia-Belanda turut menghadapi tantangan, industri pariwisata muncul sebagai alternatif penghasil uang baru. Kini, Bali merasakan kedua sisi dari arus besar wisata internasional; ia mendapatkan manfaat namun juga bertemu dengan konsekuensinya.
Saat Spies mengunjungi Bali, gaya hidup masyarakat lokal menjadi ekspresi penuh dari warisan budayanya. Kebiasaan serta cara hidup di sana secara esensial tidak terpisahkan. Setiap individu seolah-olah berperan sebagai seniman dalam kesehariannya.
Setelah itu, Spies bertemu dengan berbagai talenta istimewa seperti seniman I Gusti Nyoman Lempad dan Wayan Limbak, yang sekaligus sebagai penari dan koreografer. Dengan bantuan mereka serta banyak orang lainnya, Spies mencoba memodernisasi seni di Bali sambil tetap sadar akan perlunya melindungi warisan budaya ini dari pengaruh imperialis barat.
“Ketika saya mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, saya segera menyadari bahwa saya membutuhkan bantuan seniman Bali untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut,” imbuhnya.
Berbekal nasihat dan dukungan dari Horst Jordt di Jerman, dia akhirnya bertemu dengan Agung Rai, pendiri Walter Spesies Society di Bali. Melalui Agung Rai, ia diperkenalkan kepada serta dibantu dalam menjalin hubungan dengan para profesional seni dan budaya yang aktif di Ubud dan kota-kota lain di pulau tersebut.
“Saya kenal dengan I Wayan Dibia, seorang murid terakhir dari Limbac, orang yang dikenal sebagai salah satu peneliti kebudayaan, penari, dan koreograf utama di Bali. Dia juga pencipta tarian topeng bertemakan Walter Spies kurang lebih sepuluh tahun silam,” lanjutnya.
Dalam ciptaan oleh Dibia, penduduk Bali menggambarkan tokoh-tokoh seperti Spies, Chaplin, dan Margaret Mead sebagai warga barat yang ditampilkan lewat penampilan fisikal serta bahasa tubuh mereka, sesuai pandangan orang Bali. Bahkan para seniman muda di Bali juga sangat familiar dengan figur dan cerita tentang Walter Spies.
Dengan etnograf Dewa Ayu Eka Putri yang juga seorang penari, musisi Tutangkas Hranmayena Putu, seniman Made Bayak dan Gus Dark, serta Agung Rai dan I Wayan Dibia, dalam beberapa tahun belakangan kita sudah mencoba menggali cerita tentang Spies beserta pengaruhnya pada masyarakat di pulau Bali hari ini.
Dengan demikian, kita sudah mengungkapkan kedua sisi positif dan negatif pewarisan budaya kita bersama, yakni ditandai dengan keunikan dan perkembangan budaya lokal yang pesat seiringan dengan munculnya wisata masal, pencemaran lingkungan, dan pertumbuhan kota.
Kerjasama ini telah melahirkan sebuah pameran serta dokudrama bernama serupa. Seni rupa yang diproduksi oleh Made Bayak dan Gus Dark pada acara tersebut menyoroti topik-topik penting tentang keadaan masyarakat Bali saat ini: pengecualian nasional, daya tahan spiritual mereka dalam menghadapi arus globalisme konsumtif, ancaman terhadap lingkungan, dan tragedi genosida tahun 1965/66. Koleksinya disajikan sebagai pertunjukan sintesis visual yang kita ciptakan secara bersama-sama berdasarkan cerita Walter Spies di Bali.
Semua ini terlaksana berkat dukungan yang murah hati dengan penuh kesabaran dari Kulturstiftung Basel H. Geiger | KBH.G di Basel, serta dari Museum ARMA Ubud telah memfasilitasi terwujudnya proyek seni, musik, tari, film, dan sastra yang kompleks ini.
“Saya berterima kasih atas kerja sama yang harmonis dan membuahkan hasil dengan dukungan kurator Chiara Turconi dan Yudha Bantono, serta dengan semua seniman dan pekerja budaya yang terlibat,” imbuh Michael Schindhelm.
Pada acara jumpa pers pendirian Arma Museum Ubud, Agung Rai menyampaikan bahwa pameran tersebut akan memperlihatkan karya seni yang bertujuan untuk berbagi, tidak terbatas di Bali saja tetapi juga mencakup seluruh dunia.
Kedatangan Walter Spes di Bali telah memberikan pelajaran kepada masyarakat Bali tentang bagaimana menikmati kecantikan alam dan budaya setempat, menjadikan Bali sebagai warisan hidup yang unik tanpa bandingannya.
Tim tersebut mengucapkan terimakasih atas tawaran untuk menerjemahkan dan menyusun visi Bali menuju masa depan.
“Budaya masyarakat Bali yang sangat menghargai air dan alam telah diprakarsai oleh Walter Spies, tetapi saat ini hal tersebut mulai meredup. Namun, melalui pameran seni ini, gambar-gambar yang ditampilkan mengeksplorasi kembali nilai-nilainya,” terangnya pada acara di Arma Ubud, Gianyar, Jumat, 23 Mei 2025.
Agung Rai menyatakan karya-karya ada video, lukisan kritik sosial dalam pameran ini perjalanan 100 tahun cukup panjang, ada positif ada kurang baik,
“Saya apresiasi berterima kasih dengan danya pameran ini, Arma Ubud bekerjasama seniman-seniman muda untuk merumuskan, Bali ke depan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kenapa Bali kebablasan, awalnya filsafat Bali dimplementasikan Walter Spies dengan memuliakan air, lingkungan. alam kemudian sekarang apa yang terjadi?
Sumber-sumber dari Puri Ubud yang telah lama bersinggungan dengan Walter Spies, demikian disampaikan oleh Agung Rai yang sudah sejak kecil sangat terpesona dengan figur dan karyanya milik Walter Spices, membuktikan betapa eratnya hubungan Walter Spies dengan masyarakat setempat.
“Itu yang kagumi, keberaniannya meninggalkan Eropa yang sudah cukup maju dari sisi makan, inteleketual kemudian masuk ke Bali ibaratnya hutan serba gelap,” cetus Agung Rai.
Seniman Made Bayak yang menampilkan karya instalasi, lukisan dan ikut dalam film dokumentar “ROOTS” mengaku dalam dialog image nya mengajak Walter Spice melihat Bali yang lain.
“Karya kolaborasi ini, saya ajak Walter Spice ngobrol dengan Pak Agung Rai, teman-teman Wallhi Bali bicara tentang lingkungan dan alam,” Katanya.
Made Bayak mengaku berbicara hal, ngobrol hal yang jarang dilakukan, seperti tragedi kemanusian 1965. Ia mengajak masa ke belakang beberapa tempat seperti tugu peringatan yang kemudian hilang, bekas penjara di Denpasar tahun 1965, di mana tahanan politik ada di penjara pekambingan yang kemudian alasan dan kepentingan tertentu dipindahkan ke Kerobokan.
“Penting saya ajak Walter Spies untuk melihat situasi hari ini,” katanya menegaskan. ***