JAKARTA,
– Dalam suasana merenung dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Bentara Budaya Yogyakarta mengawali pameran seni berjudul “Sayap-Sayap Garuda”.
Berlokasi di wilayah Kotabaru, pameran ini lebih dari sekedar acara seni; itu adalah penyelidikan mendalam tentang arti simbolis Burung Garuda sebagai ikon nasional—not hanya mencerminkan kemajuan, tetapi juga membawa pesan harapan, perlawanan, serta keragaman.
Berlangsung sampai tanggal 1 Juni 2025, acara tersebut mempersembahkan tampilan visual karya tujuh seniman terkemuka yakni Didi Sumarsidi, Gege Wibobo, Iwan Ganjar, Ong Hari Wahyu, Ronang Pratama, Subandi Giyanto, serta Subiyanto.
Tujuh seniman tersebut menampilkan interpretasi modern, pribadi, serta berisi makna budaya tentang Garuda secara visual.
Garuda tidak hanya merupakan makhluk mitologi biasa. Di dalam tradisi Hindu, dia menjadi wahana bagi Dewa Wisnu. Tetapi di lingkungan Indonesia, Garuda melebihi perannya sebagai simbol legenda; dia berubah menjadi ikon keteguhan menghadapi pengejaran zalim. Bukti sejarahnya dapat dilihat pada platung emas abad keempat yang ditemukan di Wonosobo, serta patung-patung besar yang terdapat di kompleks candi seperti Prambanan, Kidal, dan Sukuh.
Dengan menggunakan gambaran visual serta benda-benda kebudayaan, para pengunjung diundang untuk merespons sebuah pertanyaan yang signifikan:
Kenapa Burung Garuda diambil menjadi simbol nasional?
Jawaban tersebut muncul melalui serangkaian karya, teks kuratorial, hingga barang bersejarah yang menyingkap jejak pikiran para pendiri negara.
“Burung garudas yang ada sayapnya tidak hanya mewakili kemuliaan, namun juga memiliki jiwa untuk berdiri kembali, memelihara prinsip-prinsip kesatuan dan keragaman,” jelas tim kurator Bentara Budaya di bagian pembukaan pameran tersebut.
Pameran ini juga mengandung arti yang mendalam dengan dua lapisan pesan: merayakan Hari Kebangkitan Nasional dan sekaligus menyambut perayaan Hari Kelahiran Pancasila.
Di samping karya seni visual, para pengunjung juga dimanjakan dengan pertunjukan tarian tradisional “Sawung Alit” dari Kemiren, Banyuwangi. Tarian ini melukiskan mitos tentang Garuda secara simbolis. Selain itu, ada pula irama musik unik Indonesia oleh Orkes Keronconch SakPenake yang menimbulkan suasana kenangan manis dan bangga akan warisan budaya negeri kita.
Pameran ini mengeksplorasi pula cara seekor Garuda menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia—dapat dilihat melalui ukiran furnitur, pola batik, hingga dekorasi rumah tradisional.
Legenda kuno tentang Garuda yang menyelamatkan sang ibu dari perbudakan Kadru diproyeksikan menjadi sebuah metafora untuk pengabdian kepada Tanah Air—suatu prinsip mulia yang sepertinya juga memberi inspirasi pada para pendiri bangsa ketika mereka menetapkannya sebagai lambang negara.
Setelah proklamasinya pada tahun 1945, Indonesia masih belum mempunyai simbol nasional. Untuk itu, Panitia Lambang Negara didirikan dengan ketua Sultan Hamid II serta anggota-anggota terkemuka lainnya seperti Ki Hajar Dewantara dan Muh. Yamin.
Desain Sultan Hamid II selanjutnya dipilih, disempurnakan oleh Presiden Soekarno bersama dengan pelukis istana Dullah—khususnya dalam hal jambul dan cakar—menghasilkan Garuda Pancasila yang secara resmi diumumkan pada tanggal 15 Februari 1950.
“Sayap-Sayap Garuda” tak hanya berfungsi sebagai galeri, tetapi juga tempat meditasi nasional. Ruangan ini menciptakan wadah diskusi di antara sejarah, seni, dan jati diri suatu negara—menyampaikan pesan bahwa jiwa kemandirian sesungguhnya selalu relevan.
Pameran ini dibuka bagi publik dari Senin sampai Sabtu mulai pukul 10:00 hingga 21:00 waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Untuk mendapatkan informasi tambahan yang lebih rinci, silakan kunjungi situs web resmi Bentara Budaya tersebut.
www.bentarabudaya.com
.