Mobil listrik (EV) diprediksi akan mendominasi industri otomotif dunia, namun ironisnya kendaraan semacam itu malah tidak begitu populer di Negeri Sakura. Meskipun demikian, penduduk Jepang dikenal memiliki kecenderungan untuk segera merespon teknologi baru serta kesadaran mereka tentang lingkungan yang cukup tinggi.
Namun, mengapa mereka sepertinya kurang berminat pada mobil listrik yang dipromosikan sebagai kendaraan paling ramah lingkungan? Mari kita bahas lebih dalam mengenai alasan mengapa popularitas mobil listrek di Jepang belum setinggi di China dan beberapa negara lainnya.
1. Penjualan mobil listrik di Jepang
Di tahun 2023, jumlah penjualan Kendaraan Listrik (EV) di Jepang meningkat menjadi 88.535 unit, yang merupakan kenaikan sebesar 50% dibandingkan dengan angka pada tahun 2022 yaitu 58.813 unit, namun tetap saja berkontribusi hanya sekitar 2,2% dari keseluruhan penjualan kendaraan yang mendekati 4 juta unit. Di pihak lain, mobil hibrida memimpin pangsa pasarnya dengan merajai 55%, menjual sebanyak 2,2 juta unit, sedangkan mesin pembakaran dalam (ICE) masih memiliki peranan penting dan berhasil menembus kisaran 40% atau setara dengan 1,6 juta unit.
Di tahun 2024, terjadi penurunan penjualan kendaraan listrik sebesar 33% menjadi total 59.736 unit, menyebabkan pangsa pasarnya berkurang hingga 1,5%. Sementara itu, jenis hybrid menunjukkan performa yang solid dengan pertumbuhan konstan, serta mesin bensin internal combustion engine (ICE) masih populer khususnya untuk truk dan mobil desa.
Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa jumlah penjualan kendaraan listrik belum setinggi penjualan mobil hibrida maupun mobil berbahan bakar minyak meskipun demikian.
2. Infrastruktur jadi kendala
Salah satu alasan kurangnya ketertarikan orang Jepang pada kendaraan listrik adalah adanya keterbatasan dalam hal fasilitas pengisian baterai. Pada bulan Februari tahun 2024, di Jepang baru ada sekitar 37 ribu tempat charging publik, yang jumlah tersebut masih sangat jarang jika dibandingkan dengan negeri seperti Jerman.
Di samping itu, sejumlah besar hunian di Jepang, khususnya yang berada di area urban, kurang menyediakan ruang untuk pengisian kendaraan listrik di dalam rumah mereka, serta fasilitas parkir biasa jarang dilengkapi dengan stasionary charger. Selain itu, ukuran mobil listrik, contohnya Tesla Model 3, dipandang sebagai halangan karena mengambil begitu banyak space pada lahan parkir yang cenderung ketat.
Pada saat bersamaan, hybrid tidak perlu dicharger secara eksternal sebab baterenya akan diisi dengan sendirinya melalui rem, menjadikannya lebih efisien digunakan. Pengaruh budaya Jepang yang sering berhadapan dengan gempa turut menjadi pertimbangan, misalnya mobil harus diparkir di tempat aman supaya tidak mencegah jalur evakuasi ketika gempa terjadi.
Di samping itu, masa pengisian daya kendaraan listrik (EV) yang memerlukan waktu antara 2 hingga 15 jam untuk mengisi ulang sepenuhnya tidak sesuai dengan kehidupan serba cepat orang-orang di Jepang. Di sisi lain, mobil Hybrid memberikan opsi isi ulang bahan bakar yang lebih cepat melalui pompa bensin yang mudah ditemukan dimana saja.
Sebuah faktor tambahan adalah bahwa harga kendaraan listrik umumnya lebih tinggi. Sebagai contoh, Nissan Leaf ditawarkan dengan harga mulai dari 4,5 juta yen, sementara mobil hibrida seperti Toyota Corolla Hybrid berada pada kisaran sekitar 3 juta yen yang jauh lebih murah dan cocok bagi kalangan menengah.
3. Strategi Pabrikan
Produsen otomotif dari Jepun semisal Toyota serta Honda kini lebih memusatkan upaya mereka pada kendaraan hibrida berkat investasi signifikan yang sudah dilakukan dalam bidang tersebut sejak tahun ’90-an; Toyota Prius menjadi pelopornya. Mereka percaya bahwa sistem hibrida dapat menjadi batu loncatan menuju pencapaian emisi nol tanpa harus merelakan aspek kemudahan penggunaannya.
Salah satu alasan mengapa produsen di Jepang belum sepenuhnya beralih ke produksi kendaraan listrik adalah takut mereka bahwa tren mobil listrik dapat merusak rantai pasok untuk mesin pembakaran internasional (ICE) dan hybrid, yang pada gilirannya bisa membahayakan jutaan pekerjaan karena EV memiliki jumlah komponen yang lebih sedikit.
Honda pernah melakukan survei tentang mobil listrik pada 2024. Hasil survei tersebut menunjukkan ada tiga keraguan utama konsumen terhadap mobil listrik, yaitu infrastruktur, nilai jual kembali yang rendah, dan teknologi yang cepat usang.