Tiga Orang Ditetapkan Sebagai Tersangka dalam Kasus Dugaan Korupsi Satelit tanpa Lelang dan Anggaran



Penyidik dari Jampidmil Kejaksaan Agung telah menentukan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus koneksi terkait dugaan pelaku kejahatan korupsi pada proyek stasiun terminal satelit slot orbit 123 BT di Kementerian Pertahanan untuk tahun fiskal 2016. Para individu ini dicurigai karena diyakini mereka belum menjalankan mekanisme pembelian produk atau layanan dengan benar, sebalinya menggunakan metode penunjukkan langsung. Selain itu, diklaim bahwa upaya tersebut bahkan berlangsung tanpa alokasi anggaran tertentu sehingga menyebabkan ancaman penyitaan atas beberapa properti milik negara yang ada di Singapura dan juga Prancis.

Brigjen TNI Andi Suci Agustiansyah, Direktur Pelaksanaan Jampidmil, menyatakan bahwa dugaan tindak pidana ini berkaitan dengan proses pengadaan yang didasarkan atas perjanjian yaitu Perjanjian Pengadaan Peralatan Terminal Pengguna beserta Layanan Terkait antara Navayo International AG dan Kementerian Pertahanan pada tanggal 1 Juli 2016, serta Amendemen Nomor 1 ke dalam Perjanjian tentang Pengadaan Peralatan Terminal Pengguna bersama Layanan-Layanan Terkait dari Navayo International AG kepada Kementerian Pertahanan pada tanggal 15 September 2016.

“Penyidik mengidentifikasi tiga individu sebagai tersangka melalui Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin 78A/PM/PMpd.1/05/2025 yang ditandatangani pada 5 Mei 2025,” jelasnya dengan tegas.

Tersangka pertama adalah Laksamana Muda TNI (purnawira) LNR yang menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan di Kementerian Pertahanan serta juga bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Tersangka kedua memiliki gelar Tenaga Ahli untuk Proyek Satelit Kemhan dengan inisial ATVDH. Sedangkan tersangka ketiga yaitu CEO dari perusahaan internasional bernama Navayo International AG, yang dilambangkan dengan inisial GK. Dia dinyatakan sebagai seorang WNA oleh pihak penegak hukum.

Kasus ini dimulai ketika Kepala Badan Sarana Pertahanan di Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda TNI (Purn) LNR, menyetujui kontrak bersama Tersangka GK yang merupakan CEO dari Navayo International AG, suatu perusahaan dari Hungaria pada tanggal 1 Juli 2016. Kontrak tersebut berkaitan dengan pemberian terminal layanan serta perlengkapan seharga USD 34.194.300, kemudian jumlahnya direvisi menjadi USD 29.900.000.

Menurut dia, masalahnya adalah bahwa proses penandatanganan kontrak antara Navayo International dan PPK yang diwakili oleh Pelaku Utama Kasus, yaitu Tersangka LNR, telah dilaksanakan tanpa adanya dana yang disediakan sebelumnya.

Dia mengatakan, penunjukan adanya Navayo International AG sebagai pihak ketiga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa. Perusahaan ini merupakan rekomendasi aktif dari Tersangka ATVDH.

“Dalam hal ini, Navayo International AG menyatakan bahwa mereka sudah menyelesaikan tugas melalui penyampaian produk ke Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang didasari oleh empat sertifikat kinerja (Certificate of Performance/CoP),” jelasnya.

Ternyata, dokumen konfirmasi pesanan (CoP) itu sudah dipersiapkan oleh Tersangka ATVDH bersama Tersangka GK tanpa adanya pemeriksaan sebelumnya terhadap barang-barang yang akan dikirim dari Navayo. Kemudian, perusahaan Navayo International AG memulai proses tagihan ke Kementerian Pertahanan dengan mengirim empat faktur serta dokumen CoP ini. Namun, sampai tahun 2019 belum ada alokasi dana dalam APBN untuk pembelian satelit menurut keterangan mereka.

Navayo telah mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional Pusat Bisnis Singapura serta Kejaksaan Paris untuk menuntut penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, kediaman Atase Pertahanan, dan apartemen Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris. Dia menjelaskan bahwa proses hukum tersebut terus berlangsung dan yang jelas adalah bahwa permohonan penyitaan ini didasari pada faktur palsu. (idr)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *